Namo urang Minangkabau

namo nan dipakai dek urang-urang nan bakaturunan Minangkabau
Revisi sajak 9 Maret 2013 17.51 dek David Wadie Fisher-Freberg (rundiang | jariah)
(bedo) ← Revisi sabalunnyo | Revisi tabaru (bedo) | Revisi salanjuiknyo → (bedo)

Hampir setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dalam pemberian nama. Beberapa suku tertentu memiliki tradisi memberikan nama keluarga atau nama marga yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Dalam budaya Batak dan Minahasa, nama marga ayah diwariskan kepada anak secara turun-temurun. Di beberapa daerah, seperti Jawa, ada yang hanya memiliki satu nama, meskipun tak sedikit pula yang memakai nama ayah di belakang nama mereka (nama patronimik). Bagi suku Jawa dan Sunda, nama mencerminkan status sosial. Begitu pula dengan masyarakat Bali, yang sistem penamaannya terkait erat dengan caturwarna atau wangsa. Di daerah lainnya, nama-nama khas muncul karena berkaitan dengan kebudayaan setempat, seperti yang ada di Maluku, Papua, Badui, Dayak, Sakai, Nias, dan Mentawai.

Tan Malaka
Mohammad Hatta
Sutan Sjahrir

Adapun karakter nama orang Minangkabau cenderung berubah-rubah dari waktu ke waktu. Dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie disebutkan, nama-nama orang Minang pada masa-masa awal berasal dari alam dan nama-nama benda yang ada di dalamnya. Dalam waktu yang cukup lama, tak sedikit pula nama-nama berbau Hindu dan Budha bermunculan. Setelah Islam masuk dan berkembang, nama-nama kearab-araban muncul sebagai nama-nama orang Minang. Memasuki pertengahan abad ke-20, muncul nama kejawa-jawaan, singkatan, dan pengkodean. Pada masa Orde Baru, muncul pula nama-nama yang berbau kebarat-baratan. Baru pada dua dekade terakhir, nama-nama orang Minang kembali diramaikan dengan nama-nama Islam.[lower-alpha 1]

Sejarah

Penamaan dalam masyarakat Minangkabau pada masa lampau berpegang pada falsafah “Alam takambang jadi guru”. Mereka biasanya menamai kampung, daerah-daerah baru, dan nama-nama suku dengan falsafah ini, termasuk dalam memberikan gelar atau nama kepada seseorang. Memasuki pertengahan pada abad ke-14, nama-nama Arab mulai bermunculan seiring dengan masuknya Islam ke Minangkabau. Nama para nabi dan rasul serta para sahabat, atau istri dan anak-anaknya, adalah nama-nama yang paling sering digunakan.[1]

Meskipun bukan sebuah tradisi, tak sedikit orang Minang yang gemar memakai imbuhan atau akhiran tertentu dalam memberikan nama, seperti –zal untuk laki-laki atau -niar untuk perempuan. Nama-nama yang mengandung atau berakhiran -rizal bahkan sering diasosiasikan sebagai nama khas Minang.[2]

Pasca-PRRI

Seiring dengan tekanan dan intimidasi dari pemerintahan pusat pasca-penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir tahun 1960-an, banyak masyarakat Minangkabau yang berusaha menanggalkan identitas dan label keminangannya, termasuk lewat perubahan nama. Mereka berusaha untuk mencari identitas baru agar lepas dari kejaran tentara pusat. Dengan menjawa-jawakan diri seperti yang diinginkan oleh pusat, tak sedikit orang Minang mengganti nama mereka dengan nama yang kejawa-jawaan, atau nama-nama berbau Eropa, Persia, dan Amerika Latin. Akan tetapi, nama-nama yang mereka berikan punya makna tersendiri; ada kreasi yang mereka ciptakan di dalamnya.[3]

Nama-nama Jawa pada masyarakat Minangkabau biasanya merupakan singkatan daerah asal orang tua, nama kedua orang tua, atau kombinasi keduanya. Nama-nama ini lekat pasca-PRRI, seperti ‘Parmanto’ (singkatan dari daerah asal pemilik nama, Parikmalintang dan Toboh), ‘Surianto’ (Surian dan Koto), dan lain sebagainya. Namun demikian, ada sebagian orang tua yang mengadopsi nama Jawa bulat-bulat, atau sekadar menyamarkan nama Minang mereka. Bastian Sutan Ameh misalnya, yang mengganti namanya menjadi ‘Sebastian Tanamas’ ketika merantau ke Jakarta.[2]

Guru besar dan sejarawan Gusti Asnan menilai, tidak ada gerakan yang disengaja dalam masyarakat Minangkabau untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Jawa. "Itu memang strategi untuk tetap bertahan" karena jika tidak, mereka akan tetap dicari oleh tentara pusat, untuk dibunuh. Selain itu, bagi mereka yang merantau ke Jawa, mereka lebih mudah diterima. Gusti Asnan sendiri mengaku, namanya tidak ada hubungannya dengan gusti yang di Bali atau Kalimantan. "Gusti itu singkatan dari ‘Gus’ yang artinya lahir di bulan Agustus dan ‘ti’ dari bidan tempat saya lahir yang namanya ‘Eti’, sedangkan ‘Asnan’ itu singkatan nama ibu dan ayah saya, Asyiah dan Syahminan."[3]

Kini

Nama-nama yang bermunculan saat ini kebanyakan berasal dari bahasa-bahasa di luar Minangkabau. Ada penamaan yang didasarkan atas motivasi atau berkaitan dengan waktu kelahiran, urutan kelahiran, atau terinspirasi dari nama-nama tokoh terkenal.[4][5][6] Seiring dengan modernisasi, banyak orang Minangkabau yang mengadopsi nama-nama Barat. Memasuki pertengahan tahun 1980-an, sebagai akibat dominasi budaya Orde Baru, nama-nama yang berasal dari bahasa Sanskerta ikut trend di kalangan masyarakat Minangkabau.[2]

Nama panggilan dan gelar

Orang Minang punya kebiasaan menyingkat nama atau menyebut nama orang lain lebih pendek dari nama panggilannya. Orang yang pertama kali tercatat mengakronimkan namanya adalah Hamka, yang merupakan singkatan dari nama sebenarnya, Haji Abdul Malik Karim Amarullah. Di Indonesia, tak sedikit yang mengikuti jejak Hamka, memendekkan nama panjang menjadi singkatan.[2]

Dalam budaya Minangkabau, pria yang sudah menikah akan diberikan gelar di belakang namanya, sesuai dengan ungkapan "ketek banamo, gadang bagala". Maksudnya, ada dua sapaan bagi orang Minangkabau, yaitu nama yang diberikan oleh keluarga ketika masih kecil dan gelar yang biasanya diberikan kepada kaum pria beberapa saat sebelum melangsungkan pernikahan. Pada nagari tertentu, setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya dan masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut.[7][8] Gelar panggilan ini biasanya bermulai dari sutan, bagindo, atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir, sementara di kawasan Luhak Limo Puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

Nama suku sebagai nama belakang

Istilah suku pada masyarakat Minangkabau agak membingungkan bagi etnis lain di luar Minangkabau. Ada yang mengartikannya sebagai suku atau etnis, tapi ada juga yang mengartikan istilah suku dalam kebudayaan Minang sebagai marga seperti pada suku Batak, Ambon, Toraja, dan Minahasa. Bagi orang Minangkabau, suku merupakan sub-klan yang diturunkan dari garis ibu, tidak patrilineal seperti aturan marga pada suku Batak atau suku-suku lain di Indonesia. Bagi orang Batak atau Mandailing, kalau mereka berasal dari marga yang sama, misalnya sama-sama Sitorus atau Nasution, berarti bersaudara. Atas dasar yang tidak jauh berbeda, pada masyarakat Minangkabau, sesama suku tidak diperkenankan untuk menikah.

Dalam kaitannya dengan penamaan, ada sebagian keluarga Minang yang mengangkat nama suku sebagai nama belakang anak mereka.[lower-alpha 2][9] Namun, sebagian lain beranggapan, memakai nama suku atau marga akan menghilangkan identitas Minangnya, karena meniru-niru kebiasaan orang Batak yang memakai marga di belakang namanya. Oleh sebab itu, penamaan semacam ini tidak populer di kalangan masyarakat Minangkabau.

Fonologi

Bahasa Minangkabau memiliki 20 bunyi konsonan, yaitu /p/, /b/, /t/, /d/, /c/, /j/, /k/, /g/, /?/, /s/, /z/, /h/, /m, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /l/, /w/, dan /y/, ditambah dua bunyi lain yang ada pada nama, yaitu /š/ dan /x/. Bunyi /ñ/ dan /ŋ/ tidak muncul di awal nama, kecuali sebagai kata sapaan yang menunjukkan hubungan kekerabatan. Untuk bunyi tertentu, bunyi /f/, /š/, dan /z/ cenderung dilafalkan menjadi /p/, /s/, dan /j/. Misalkan, pada nama ‘Arifin’, terjadi perubahan dari bunyi [f] menjadi bunyi [p] sehingga pemilik nama ini dipanggil dengan sebutan ‘Pin’, atau pada nama ‘Safrizal’ yang dipanggil dengan sebutan ‘Sap’.[10]

Nama-nama orang Minangkabau yang berbau Arab, Eropa, Sanskerta, atau yang berasal dari nama suku lain yang bahasanya berbeda, akan mengalami penyesuaian dengan sistem bunyi yang ada dalam bahasa Minangkabau. Gejala perubahan bunyi tak jarang memunculkan bunyi baru, yaitu bunyi diftong. Contoh: panggilan ‘Maik’ pada nama Rahmat; bunyi /mat/ sebagai bagian dari penggalan kata ‘mat’ berubah menjadi /maik/. Bunyi diftong pada umumnya tidak muncul pada nama panjang.[10]

Lihat pula

Catatan kaki

Keterangan
  1. Semuanya, didasarkan atas motivasi pemberi nama itu sendiri.
  2. Contoh: Nama-nama semisal Hasril Chaniago (karena berasal dari suku Caniago), Indra J. Piliang, Basrizal Koto, dan seterusnya.
Rujukan
Daftar pustaka

Pranala luar