Suku Huli merupakan masyarakat adat yang tinggal di dataran tinggi bagian selatan negara Papua New Guinea yang meliputi beberapa wilayah seperti wilayah Tari, Koroba, Margaraima dan Komo Papua New Guinea. Populasi suku ini berjumlah 150.000 orang.[1] Mereka sudah mendimi wilayah dataran tinggi tersebut lebih dari 1000 tahun. Sebagian besar suku Huli menggunakan bahasa Huli dan Bahasa Tok Pisin, sebagian yang lain menggunakan bahasa lokal lainya dan yang lainya menggunakan Bahasa Inggris.[2]

Urang Huli
Urang Huli nan mancat mukonyo jo warna kuniang
Kawasan jo populasi nan signifikan
Kabupaten Morowali Utaro
Kacamatan Bungku Utara
Sulawesi Tengah, Indonesia
Bahaso
bahaso Huli
Agamo
Islam, Kristen, agamo asli Halaik
Kalompok etnis takaik
Urang Sikka

Sejarah suntiang

Suku Huli telah lama tinggal di dataran tinggi bagian selatan negara Papua New Guinea lebih dari seribu tahun dan memiliki catatan sejarah lisan mengenai sejarah kehidupan sukunya. Suku ini merupakan suku yang memiliki kebiasaan untuk bepergian jauh dalam upaya perdagangan antar wilayah dataran tinggi dan dataran rendah disekitar tempat suku ini berada, khususnya yang berada di wilayah selatan. Suku ini belum pernah melakukan kontak dengan pemerintah kolonial sampai dengan tahun 1951.[3]

Sistem Kekerabatan suntiang

Suku Huli dikelompokkan ke dalam marga yang disebut (hamigini) dan submarga yang disebut (hamigini emene). Marga dari suku ini mendiami wilayah tertentu dan sistem keanggotaan berdasarkan pada kekerabatan turun menurun.

Submarga merupakan kelompok kecil yang merupakan bagian dari marga yang membentuk tata kemasyarkatan Suku Huli. Sistem submarga berlaku secara otomatis atau terjadi dengan peperangan atau perdamaian atau mungkin dengan jalan membayar ganti rugi tanpa melakukan musyawarah dengan marga yang lebih besar. Keanggotaan dari submarga biasanya terbatas pada orang yang secara langsung berketurunan dengan pendiri submarga atau anggota submarga lain. Seorang Suku Huli dapat memiliki status beberapa submarga sekaligus dalam satu waktu yang bergantung kepada keturunan dan kerabatnya.

Suku huli memiliki sistem kekerabatan terbuka. Sebagai contoh seseorang yang berasal dari latar belakang budaya Sunda dapat dijadikan sebagai semi saudara, adik tiri, sepupu. Juga seseorang yang memiliki latar belakang yang berbeda dapat dengan status bibi dan paman dimata suku Huli dianggap sebagai ibu dan ayah.

Pria dan wanita dari suku Huli secara tradisional bertempat tinggal terpisah. Anak laki-laki tinggal bersama Ibunya dan akan pindah tinggal ke rumah ayah anak laki-laki tersebut menjelang masa pubertas. Laki-laki yang belum menikah berkumpul bersama dalam satu kelompok di dalam sebuah rumah, kebiasaan ini saat ini sudah mulai ditinggalkan dan jarang ditemukan lagi. Gubuk pria secara tradisional berada di pusat perkampungan, umumnya dijadikan sebagai tempat pertemuan dan kegiatan penduduk perkampungan tersebut kadang-kadang gubuk tersebut dijadikan tempat tidur pula. Sedangkan tempat tinggal perempuan berada terpisah dengan gubuk laki-laki. Gubuk mereka berada disekitar gubuk keluarga mereka.[2]

Budayo suntiang

Suku Huli merupakan salah satu suku yang unik. Mereka memiliki tradisi mewarnai wajah dengan cat berwarna merah, kuning, dan putih. Mereka juga suka membuat rambut palsu untuk merubah penampilannya.[4] Bagi Huli, seperti halnya bagi banyak suku dan budaya yang dapat ditelusuri kembali ke jaman dahulu, seni wajah dan tubuh memainkan peran penting dalam ritual dan festival.

Karena Huli secara budaya adalah orang yang bertikai, mereka cenderung menyukai warna kuning cerah dan merah yang berani. Warna-warna cerah yang dipakai Huli dalam upacara seremonial ini, tidak hanya menanamkan rasa takut pada lawan-lawan mereka, tetapi juga membantu menciptakan kesadaran bagi pejuang Huli itu sendiri. Kesadaran itu adalah bahwa mereka harus mengorbankan ketakutan mereka dan secara individu atas nama identitas bersama dan kepentingan kolektif suku.

Melukis wajah bagi orang Huli memang dilakukan saat ritual peperangan dan pra-dan pasca-perang. Namun, mereka juga menerapkan riasan itu untuk pertemuan khusus lainnya, acara musiman, dan kegiatan ritual, seperti saat melakukan tarian spiritual dan upacara inisiasi. Upacara inisiasi sangat penting karena menandai ritus peralihan dari anak ke orang dewasa dalam suku. Selama acara ini, para pria mengambil peran utama untuk membuat desain wajah yang indah dan rumit.

Namun, selama tarian, yang disebut sebagai mali, orang dewasa dan anak-anak, termasuk wanita juga menggunakan riasan yang dikenakan di seluruh pertunjukan. Warna latar untuk riasan wajah Huli biasanya terbuat dari tanah liat kuning yang disebut ambua. Warna putih juga terkadang digunakan sebagai latar belakang untuk desain, dan minyak pohon bening, mbagwa, juga kadang-kadang digunakan sebagai penghapus. Sementara susunan ini memiliki akar historis dan penting bagi ritual dan kegiatan budaya khusus Huli.

Dalam beberapa tahun terakhir, Huli telah menjadi subjek sirkuit wisata yang dijalankan secara lokal. Untuk menenangkan atau menghibur para pelancong, Huli sekarang sering menggunakan warna yang kurang tradisional menggunakan cat akrilik dan bahan yang tidak terlalu tradisional. Selain itu, alih-alih menggunakan riasan wajah untuk kegiatan tradisional, banyak yang memakai riasan wajah setiap hari sebagai bentuk pertunjukan bagi wisatawan.[3]

Mengenali suku Huli pun sangat mudah. Sebab mereka punya ciri khas, yang pria selalu mengecat wajahnya dengan warna kuning. Mereka mengecat wajahnya dengan bahan-bahan alami. Warna kuningnya begitu cerah, yang ternyata bukan hanya sembarangan dicat tapi juga ada nilai luhurnya. Warna-warna cerah bagi suku Huli adalah warna-warna para leluhur. Mengecat wajah dengan warna kuning, diyakini akan mendekatkan diri dengan para leluhur dan selalu merasa dilindungi. Bahkan ketika wajahnya sudah dicat, suku Huli sudah tidak merasa takut dengan apapun.

Di lain sisi, warna kuning di wajahnya akan mengintimidasi dan menakuti suku-suku lain. Tradisi mengecat wajah suku Huli ini sudah berlangsung sejak zaman dulu hingga kini. Bagi pemerintah Papua Nugini, ciri khas suku Huli pun dijadikan simbol kebudayaan. Bahkan beberapa festival kebudayaan di sana menampilkan tradisi suku Huli lengkap dengan wajah dicat kuning.[1]

Sistem Perekonomian suntiang

Suku huli hidup dengan cara berburu. Umumnya berburu dilakukan oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan dengan cara bercocok tanam dan mengumpulkan tanam-tanaman. Sistem pembagian ini juga berlaku pada saat kaum laki-laki menggarap tanah dan kaum perempuan menanami tanah.

Mereka menerapkan pertanian berpindah. Suku Huli akan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainya setelah tanah yang digarapnya sudah kurang subur untuk ditanami dan memberikan tanah itu kembali gembur. Kaum perempuan Suku Huli merupakan petani yang luar biasa. Umumnya mereka menanam jenis tanaman seperti kentang manis yang menjadi bahan makanan pokok. Namun sekarang jenis tanaman yang mereka tanam berkembang ke jenis tanaman lain seperti jagung, kentang, kubis dan lain sebagainya.[2]

Peperangan suntiang

Suku Huli terkenal sangat kuat dalam berperang dan berburu. Mereka bisa menembus hutan lebat, menghadapi medan ekstrem dan lain sebagainya.[1] Laki-laki di komunitas Suku Huli biasa melakukan perang untuk mendapatkan "tanah, babi dan wanita. Mereka memakai pakaian tradisional, kaum laki-laki menghias badan mereka dengan tanah liat dan memakai penutup kepada tampah untuk upacara adat. Penutup kepala ini juga digunakan untuk peperangan. Sejak usia puber, kaum pria menumbuhkan rambut mereka dan memakai wig, selain itu mereka juga mencat rambut, menambahkan bulu burung dan beberapa jenis bunga yang menghiasi penutup kepala mereka.[2]

Perkawinan suntiang

Suku huli menganut sistem perkawinan poligami. Kaum laki-laki dari Suku Huli dapat memiliki beberapa perempuan, tetapi kaum perempuanya hanya memiliki satu laki-laki. Pernikahan harus di luar kerabat dan pernikahan di dalam lingkar saudara terlarang di dalam norma suku Huli.

Sistem pernikahan dapat bersifat perjodohan ataupun dipilih sesuai pasangan. Kaum laki-laki memberikan maskawin berupa babi atau jenis ternak yang lain kepada keluarga perempuan. Mempelai pria juga bertanggung jawab untuk membangun rumah untuk mempelai wanita.[5]

Setelah pernikahan kaum wanita mempunyai peran untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya, membuat makanan, pakaian dan bercocok tanam dan merawat babi. Sedangkan kaum pria berburu binatang, menjaga dari binatang buas, membangun peralatan, mengolah lahan dan menjaga anaknya yang sudah berumur lebih kurang 10 tahun. Anak yang berusia sebelum puber dirawat oleh ibunya dan jika sudah puber tinggal bersama ayahnya.

perceraian sangat jarang terjadi di dalam komunitas suku ini. Walaupun terjadi, umumnya disebabkan karena tidak dapat melahirkan anak. Jika perceraian terjadi, pihak mempelai pria dapat mengambil kembali babi yang sudah diberikan sebagai maskawin.[2]

Referensi suntiang

  1. a b c Farhan, Afif. "Huli, Si Manusia Berwajah Kuning". detikTravel (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2023-02-24. 
  2. a b c d e "SUKU HULI | PUSAT ILMU PENGETAHUAN | Unkris". p2k.unkris.ac.id. Diakses tanggal 2023-02-24. 
  3. a b "Dibalik Riasan Wajah Berwarna Kuning Suku Huli di Papua Nugini, Ada Pesan Mengerikan". Bangkapos.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2023-02-24. 
  4. "Ras Melanesia: Pengertian, Ciri-Ciri, dan Sejarah Perkembangannya". kumparan (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2023-02-24. 
  5. "Suku Huli di Wilayah Tari", Mengenal Suku Huli

Pranala luar suntiang