Suku Donggo atau disabuik juo jo Dou Donggo adolah suku banso di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Suku iko marupokan kalompok panduduak asli, masyarakaik Donggo yang bamukim di pagunuangan dan dataran tinggi di sabalah barat jo tenggara taluak Bima yang dikenal banamo Dou (urang) Donggo Ipa jo Donggo Ele. Urang (Dou) Donggo Ipa bamukin di sabalah barat taluik Bima yaitu di gugusan pagunuangan Soromandi. Sadangkan Dou Donggo Ele bamukim di sakitar pagunuangan Lambitu. Dengan damikian, Dou Donggo Ele diaratian sabagai urang dataran tinggi sabalah timua. Sadangkan Dou Donggo Ipa bararti juo urang dataran tinggi sabalah barat teluak Bima.[1]

Urang Donggo
Jumlah populasi
Kawasan bapopulasi cukuik banyak
Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Bahaso
Bahaso Sambori
Agamo
Islam dan Kristen

Masyarakaik Donggo Barat atau Donggo Ipa marupokan masyarakaik Bima (Mbojo) yang mandiami wilayah pagunuangan Soromandi. Masyarakaik iko sering diidentikkan dengan kasaktian, kekerasan, jo kataguahan pado pandirian sabagai akibaik dari sijarah kahidupan urang tu yang tegas dalam malawan panjajah Balando (misalnyo, dalam Perang Kala taun 1909 jo Parang Mbawa taun 1910).[2]

Tadapek saketek pabedaan bahaso yang digunokan pado masyarakaik Donggo Ipa jo Donggo Ele. Bahaso jo budaya yang bakambang pado masyarakat Donggo Barat (Donggo Ipa) hampia samo jo bahaso samo budaya yang bakambang pado masyarakaik Bima pado umumnyo. Sadangkan masyarakaik Donggo Timua atau Donggo Ele (Dou Donggo Ele) adolah kalompok masyarakaik Bima (Mbojo) yang mandiami daerah sakitar puncak Gunuang Lambitu. Babeda jo masyarakaik Donggo Ipa, masyarakaik Donggo Ele mampunyoi bahaso jo budaya tasandiri. Bahaso urang Donggo Ele labia acok dirujuak sabagai Nggahi Sambori (Bahaso Sambori) oleh masyarakaik Bima pado umumnyo, walaupun sabanarnyo bahaso tasabik juo digunokan di Kawuwu, Kuta, Kalodu, Tarlawi, Baku, jo Nggelu. Salah satu faktor yang manjadi pandorong pelabelan iko adolah jumlah urang asal Sambori yang manampuah pandidikan di Kota Bima jo daerah sakitarnyo relatif lebih banyak dibandingkan dengan daerah Donggo Ele lainnya. Bahasa Sambori dengan bahasa Bima memiliki kesamaan dalam hal kosakato yang kurang dari 10% dan layak disabuik sabagai bahaso surang.[2]

Pakaian adat

suntiang

Laki-laki tua dan dewasa pada masyarakat dewasa Donggo Ipa mengenakan sambolo (ikat kepala) yang terbuat dari kain kapas bercorak kotak-kotak tanpa disngket dengan baju berkerah warna hitam atau biru tua, tetapi terdapat juga orang yang memakai baju putih berlengan pendek. Salongo (ikat pinggang) terbuat dari kain kapas yang ditenun sendiri. Umumnya salongo terbuat dari benang kapas yang dipintal sendiri kemudian dicelupkan pada ramuan tumbuhan perdu dari kain pohon tarum. Pisau kecil atau pisau mone digunakan sebagai perlengkapan yang berfungsi untuk meraut daun lontar.

Perempuan tua dan dewasa menggunakan kababu (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dengan warna hitam yang dibuat menyerupai baju poro (baju pendek) dengan bentuk yang sederhana. Lalu, bawahan menggunakan deko (celana panjang) dibawah lutut atau lebih yang berwarna hitam. Sarung menggunakan tambe me'e kala (kain hitam atau biru tua yang cukup panjang tanpa dijahit). Sarung dipakai dengan dililitkan secara lepas di luar deko dan ujungnya diselempangkan atau diikat satu kali. Perhiasan yang biasanya dipakai adalah kalung dari manik-manik giwang, seperti karabu, jima (gelang) gilo, jima bula, dan jima edi.

Laki-laki remaja mengenakan baju mbolo wo'o (baju leher bundar) yang umumnya seperti kaos. Baju tersebut terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Salongo yang digunakan berwarna merah atau kuning yang mempunyai fungsi sebagai tempat untuk merapatkan pisau mone (pisau laki-laki). Kemudian aksesoris yang digunakan adalah pisau mone berhulu panjang berbentuk agak menjorok.

Perempuan remaja memakai pakaian yang disebut dengan kani dou sampela. Mereka memakai kababu (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dan dibentuk menjadi baju berlengan pendek. Lalu, celana yang dikenakan adalah deko dengan bentuk segitiga yang panjangnya sampai dengan lutut. Sarungnya adalah tembe Donggo berwarna hitam dengan kotak-kotak putih dipakai dengan mengikatkan dibagian perut. Perhiasan yang dipakai adalah kalung dari manik-maik merah yang dililitkan dan dibiarkan berkali-kali terjuntai dari leher ke dada.

Untuk pakaian bepergian, laki-laki menggunakan sambolo (ikat kepala) sari katun berwarna hitam atau biru tua. Tembe me'e Donggo berwarna hitam dengan garis-garis kecil dan salampe dari kain yang digunakan sebagai ikat pinggang. Alas kaki yang dipakai adalah sapoda, yang merupakan hasil buatan sendiri dari kulit binatang. Perempuan dewasa menggunakan perhiasan kalung manik-manik berwarna merah untuk bepergian dan memakai alas kaki. Untuk pakaian sehari-hari, laki-laki Donggo menggunakan sambolo seperti masyarakat Bima pada umumnya, kababu berwarna hitam atau biru tua, tembe me'e Donggo yang berwarna senada dengan kababu, lalu menggunakan salongo, dan tanpa alas kaki.[3]

Sistem kekerabatan

suntiang

Londo dou

suntiang

Londo Dou merupakan simbolik keturunan dari beberapa klan keluarga di Donggo yang mengungkapkan asal garis keturunan mereka. Londo Dou berguna untuk mengumpulkan anggota keluarga yang masih satu keturunan pada klan keluarga yang bersangkutan. Setiap klan Londo Dou mempunyai seorang pemimpin yang disebut dengan parafu. Untuk memilih parafu, orang akan diperintahkan untuk duduk pada daun pisang (soro kalo). Apabila daun pisang tersebut menempel pada seseorang ketika ia berdiri hingga berjalan, maka dia akan dipilih menjadi Parafu di keluarganya.

Menurut Johanes Elbert, seorang antropolog dari Jerman, terdapat lima Londo Dou, yaitu: Londo Dou Deke, Londo Dou Duna, Londo Dou Gande, Londo Dou Oi, dan Londo Dou Winte. Lima Londo Dou tersebut masing-masing mempunyai kelas sosial dan fungsi dalam tatanan masyarakat. Mereka biasanya mewariskan keahlian turun temurun pada keluarganya.

Londo Dou Deke adalah keluarga orang Nggeko (tempat asal usul Dou Donggo bermukim) yang paling tua dan paling dihormati dari keluarga parafu. Londo Dou Dona yang berasal dari Waro merupakan kelompok Londo Dou yang dahulunya hidup terpisah-pisah, namun sekarang sudah membaur dan melakukan perkawinan dengan klan lain. Londo Dou Gande, keluarga besarnya terpusat di Desa Kananta. Londo Dou Oi, bermukim di wilayah Tuntu. Londo Dou Winte, mayoritas mendiami Desa Sai.

Anak atau keturunan dari hasil perkawinan antara Londo Dou yang berbeda akan mengikuti garis keturunan ayahnya, misal lelaki merupakan Londo Dou Winte dan perempuan adalah Londo Dou Deke, maka anakya akan menjadi Londo Dou Winte. Setiap klan Londo Dou mempunyai pantangan yang tidak boleh dilakukan, seperti Londo Dou Deke yang tidak boleh memakan daging. Akan tetapi, pantangan tersebut tidak lagi berlaku saat ini. Dahulu, setiap ncuhi (kepala suku) harus dipilih dari Londo Dou Duna dan pejabat pemerintah harus dari Londo Dou Deke.

Nama klan Londo Dou diambil dar peristiwa penting yang dialami oleh orang terdahulu. Londo Dou Duna memiliki asal nama dari seorang anak yang digigit duna (belut) ketika sedang bermain. Kemudian orang-orang menyebut keturunan anak yang digigit duna tersebut dengan Londo Dou Duna.[4]

Kesenian

suntiang

Arugelu

suntiang

Arugele adalah suatu tarian dan nyanyian yang dilakukan masyarakat saat menanam atau memanen hasil pertanian.Tarian Arugele diperagakan oleh kaum perempuan dewasa maupun para remaja. Jumlah penarinya beragam, ada enam orang kadang juga delapan, bahkan bisa lebih. Mereka berbaris membentuk syaf. Sambil menyanyikan syair Arugele, para gadis ini memegang tongkat kayu yang telah diruncingkan ujungnya dan menancapkannya ke tanah, sehingga membentuk lubang untuk dimasukkan, jagung kedelai, biji padi, dll. Sementara kalangan lelaki mengikuti alunan langkah para gadis, dan menutup lubangnya.[5]

Belaleha

suntiang

Belaleha merupakan lantunan syair yang biasanya digunakan pada saat acara sunatan atau pesta pernikahan. Belaleha hanya boleh diiringi dengan irama mulut tanpa alunan musik apapun serta hanya boleh dilantunkan oleh kaum wanita. Para pelantun Belaleha tidak dibatasi jumlahnya, semakin banyak semakin baik. Syair Belaleha variatif, baik dari syair lama maupun baru yang mencerminkan kegembiraan atau kesedihan, dan berisi petuah kehidupan dari leluhur.[6]

Kepercayaan

suntiang

Menurut sensus pada tahun 1986, suku Donggo mayoritas beragama Islam (97%) dan sisanya Kristen (3%).[7]

Upacara adat

suntiang

Kalero adalah jenis upacara adat untuk menghormati para arwah leluhur mereka yang telah meninggal, dan para keturunannya agar dijauhkan dari marabencana.[5] Tarian ini dipercaya tercipta sejak abad ke-7 saat tanag bima masih dikepalai para Ncuhi dan masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Arti dari setiap gerakan Kalero adalah kesedihan, harapan, dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Pakaian yang digunakan serba hitam dengan alunan musik tradisional Bima yang ritmenya mnggambarkan kesedihan kerabat yang sangat mendalam.[8]

Referensi

suntiang
  1. Inayati, Nurul (2016). "ISLAMISASI DI DONGGO" (PDF). Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.  Diakses pado 21 Januari 2023
  2. a b Yusra, Kamaludin; Lestari, Yuni B.; Ahmadi, Nur (2016). "KEDUDUKAN DIALEKTOLOGIS BAHASA SAMBORI DALAM MASYARAKAT BIMA KONTEMPORER" (PDF). Jurnal Linguistik Indonesia. 34 (2): 147–161. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2023-01-20.  Diakses pado 21 Januari 2023
  3. "Hitam Yang Menawan - BIMASUMBAWA.COM | Budaya dan Pariwisata". www.bimasumbawa.com. Diakses tanggal Diakses pado 21 Januari 2023.  [pranala nonaktif permanen]
  4. mbojoklopedia. "Genealogi Dou Donggo". Mbojoklopedia. Diakses tanggal Diakses pado 21 Januari 2023. 
  5. a b "Etnis.id - Keindahan Bima: Sambori dan Negeri di Atas Awan". Etnis (dalam bahasa Inggris). 2018-12-31. Diakses tanggal Diakses pado 21 Januari 2023. 
  6. mbojoklopedia. "Lantunan Syair Bingkai Kehidupan Di Lembah Sambori". Mbojoklopedia. Diakses tanggal 21 Januari 2023. 
  7. "Sejarah Suku Donggo: Agama, Upacara, Pakaian, Senjata dan Rumah". www.gurupendidikan.co.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22. Diakses tanggal 21 Januari 2023. 
  8. mbojoklopedia. "Tarian Spiritual Kalero Donggo". Mbojoklopedia. Diakses tanggal 21 Januari 2023.