Suku Banten atau Sunda Banten (aksara Sunda: ᮅᮛᮀ ᮘᮔ᮪ᮒᮨᮔ᮪, Urang Banten) adalah orang berbahasa Sunda yang mendiami bekas daerah kekuasaan Kesultanan Banten[4] di luar Parahyangan, Cirebon, dan Jakarta. Menurut Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, populasi suku Banten mewakili 2,1% dari penduduk Indonesia, atau sekitar 4.657.000 jiwa lebih.[5][6] Orang Banten umumnya bertutur menggunakan sebuah dialek dari bahasa Sunda yang disebut sebagai bahasa Sunda Banten.

Suku Banten
Bantenese wedding.jpg
Pakaian adat dalam pernikahan suku Banten.
Jumlah populasi

±5.000.000-9.000.000[1]Setidaknya 4.657.000–5.000.000 jiwa[2] di Indonesia (Sensus Penduduk Indonesia 2010)

Kawasan bapopulasi cukuik banyak
 Banten 4.321.991 [3]
 Lampung 172.403
 Jawa Barat 60.948
 Sumatra Utara 46.640
Templat:Country data DKI Jakarta 28.551
 Sumatra Selatan 17.141
Bahaso
Sunda Banten, Indonesia
Agamo
Islam (Sunni)
Kalompok etnik takaik
Sunda, Badui, Cirebon

Sensus Penduduk tahun 2010

suntiang

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, Suku Banten bersama Suku Badui dikelompokan ke dalam Suku asal Banten dengan total jumlah 4.657.784 jiwa.[5][6]

Sejarah

suntiang

Etimologi

suntiang

Kata Banten muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan daerah sekelilingnya, yaitu Cibanten atau sungai Banten. Rujukan tertulis pertama mengenai Banten dapat ditemukan pada naskah Sunda Kuno Bujangga Manik yang menyebutkan nama-nama tempat di Banten dan sekitarnya sebagai berikut:

Tanggeran Labuhan Ratu.
Ti kalér alas Panyawung,
Tanggeran na alas Banten.

Itu ta na gunung (.. .)ler,
Tanggeran alas Pamekser,
Nu awas ka Tanjak Barat.
Itu ta pulo Sanghiang,
Heuleut-heuleut nusa Lampung,

Ti timur pulo Tampurung,
Ti barat pulo Rakata,
Gunung di tengah sagara.
Itu ta gunung Jereding,
Tanggeran na alas Mirah,

Ti barat na lengkong Gowong.
Itu ta gunung Sudara,
Na gunung Guha Bantayan,
Tanggeran na Hujung Kulan,
Ti barat bukit Cawiri.

Itu ta na gunung Raksa,
Gunung Sri Mahapawitra,
Tanggeran na Panahitan,

Dataran lebih tinggi yang dilalui sungai ini disebut Cibanten Girang atau disingkat Banten Girang ("Banten atas"). Berdasarkan riset yang dilakukan di Banten Girang pada tahun 1988 dalam program Franco-Indonesian excavations, di daerah ini telah ada pemukiman sajak abad ke 11 sampai 12 (saat kerajaan Sunda). Berdasarkan riset ini juga diketahui bahwa daerah ini berkembang pesat pada abad ke-16 saat Islam masuk pertama kali di wilayah ini.

 
Lukisan orang Banten sekitar tahun 1598 di Rijksmuseum Amsterdam

Perkembangan pemukiman ini kemudian meluas atau bergeser ke arah Serang dan ke arah pantai. Pada daerah pantai inilah kemudian didirikan Kesultanan Banten oleh Sunan Gunung Jati.

Asal usul

suntiang

Asal usul suku Banten erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kesultanan Banten, berbeda dengan Suku Cirebon yang bukan merupakan bagian dari Suku Sunda maupun Suku Jawa (melainkan hasil percampuran dari dua budaya besar, yaitu Sunda dan Jawa), Suku Banten bersama Urang Kanekes (Badui) pada dasarnya adalah sub-etnik dari Suku Sunda yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Banten (wilayah Karesidenan Banten setelah Kesultanan Banten dihapuskan dan dianeksasi oleh pemerintah Hindia Belanda). Hanya saja setelah dibentuknya Provinsi Banten, kemudian sebagian orang (terutama orang luar negeri) menerjemahkan Bantenese sebagai kesatuan etnik dengan budaya dan bahasa tersendiri, Budaya dan Bahasa Sunda Banten.[7]

Kebudayaan

suntiang

Tanah Banten kaya akan adat dan budaya, salah satu yang dominan adalah adat dan budaya suku Banten yang menjadi mayoritas di Provinsi Banten.

Perbedaan tata bahasa antara Bahasa Sunda dialek Banten dan Bahasa Sunda Umum dikarenakan wilayah Banten tidak pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, sehingga tidak mengenal tingkatan kasar dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram. Bahasa ini biasa dituturkan terutama di wilayah selatan Banten seperti Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, bagian selatan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan bagian selatan Kabupaten Serang.[8]

Budaya dan Kesenian

suntiang

Kekhasan budaya masyarakat Banten antara lain seni bela diri Pencak Silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman (Dzikir Saman), Tari Topeng,[9] Dog-dog, Angklung Gubrag, Rampak Bedug, Tari Walijamaliha,[10] Tari Silat Pandeglang,[11][12] Palingtung, Lojor, Beluk, dan lainnya.[13][14] Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur, antara lain Masjid Agung Banten, Makam Keramat Panjang,[15] dan masih banyak peninggalan lainnya.

Gelar Nama

suntiang
  • Tubagus (Tb)
  • Ratu
  • Entol (E)
  • Nyi Ayu

Kuliner

suntiang
Berkas:SateBandeng.jpg
Sate Bandeng, kuliner khas Banten.

Kuliner khas Banten diantaranya adalah Sate Bandeng, Rabeg Banten, Pecak Bandeng, Pasung Beureum, Ketan Bintul, Nasi Belut, Kue Cucur, Angeun Lada, Balok Menes, Sate Bebek Cibeber, Emping Menes,[13][14] dan lainnya.[16][17][18]

Secara umum, mereka yang mengaku sebagai etnis Banten merupakan pemeluk agama Islam yang tidak bisa lepas dari budaya keislaman yang sangat kental, hal tersebut erat kaitannya dengan sejarah Banten sebagai salah satu Kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa. Selain itu kesenian-kesenian di Wilayah Banten juga menggambarkan aktivitas keislaman masyarakatnya, seperti kesenian Rampak Bedug dari Pandeglang.[12] Meskipun begitu, provinsi Banten merupakan masyarakat multietnis yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama,[6] pemeluk agama lain dari suku-suku lainnya dapat hidup berdampingan secara damai di wilayah ini, seperti masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang, dan Masyarakat adat Badui (Sunda Wiwitan) di wilayah Kanekes, Leuwidamar, Lebak.

Batik Banten

suntiang
 
75 Ragam Hias Khas Banten Rekontruksi Arkeologi Nasional

Corak dan motif Batik Banten adalah iluminasi dari ragam hias yang telah dikaji Pemerintah provinsi Banten dalam rangka menemukan kembali ornamen motif pada bangunan rumah adat di Banten, Ragam hias ini hasil ekskavasi yang direkontruksi oleh Arkeologi Nasional dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia sejak tahun 1976. Ragam hias tersebut telah menjadi keputusan Gubernur Banten Tahun 2003.

Sejak dipatenkan tahun 2003, Batik Banten telah mengalami proses panjang hingga akhirnya diakui di seluruh dunia. Batik Banten dipatenkan setelah ada kajian di Malaysia dan Singapura yang diikuti 62 negara dan mendapatkan predikat terbaik sedunia. Bahkan Batik Banten menjadi batik pertama yang punya hak paten di UNESCO.

Batik Banten memiliki identitas tell story (motifnya bercerita) dan kekhasan tersendiri ketimbang batik lain. Beberapa motifnya diadopsi dari benda-benda sejarah (artefak). Di setiap motif terdapat warna abu-abu yang konon menjadi cermin masyarakat Banten. Semua batiknya mengandung muatan filosofi.[19]

Nama-nama motif Batik Banten diambil dari nama toponim desa-desa kuno, nama gelar bangsawan/sultan dan nama tataruang istana kerajaan Banten. Pada corakpun identik dengan cerita sejarah yang mengandung filosofi (penuh arti) pada motifnya dengan bermakna intelektual bagi pemakai bahan dan busana Batik Banten.[20]

Filosofi di Motif Batik Banten

suntiang
 
Ragam motif batik Banten yang mengandung filosofi[21]
  • Motif Surosowan: Surosowan adalah nama tata ruang tempat Menghadap raja/sultan Kesultanan Banten.
  • Motif Pasulamam: Pasulaman adalah nama tempat para Pengrajin sulaman di lingkungan Kesultanan Banten.
  • Motif Pasepen: Pasepen adalah nama tempat tata ruang Istana tempat Sultan Maulana Hasanuddin melakukan meditasi di Kesultanan Banten.
  • Motif Sebakingking: Sebakingking adalah nama gelar Panembahan Sultan Maulana Hasanuddin dalam penyebaran Agama lslam.
  • Motif Srimanganti: Srimanganti adalah nama tempat di mana Selasar yang menghungkan pendopo Kesultanan Banten untuk raja/sultan menanti.
  • Motif Pejantren: Pejantren adalah nama tempat para pengrajin tenunan di wilayah Banten.
  • Motif Panjunan: Panjunan adalah nama sebuah perkampungan tempat pengrajin gerabah dan keramik di wilayah Kesultanan Banten.
  • Motif Singayaksa: Singayaksa adalah nama sebuah tempat di mana Sultan Maulana Hasanuddin Salat Istikharah, memohon petunjuk Allah dalam mendirikan keraton.
  • Motif Wamilahan: Wamilahan adalah nama sebuah perkampungan tempat pengrajin pembelah bambu dan tikar di lingkungan Istana.
  • Motif Panembahan: Panembahan adalah nama Gelar Sultan Maulana Hasanuddin dalam penataan negara pada kejayaan keraton Kesultanan Banten.
  • Motif Pancaniti: Pancaniti adalah nama tempat/bangsal di mana Sultan Maulana Hasanuddin menyaksikan para prajuritnya berlatih di lapangan.
  • Motif Pamaranggen: Pamaranggen adalah nama tempat di mana para pengrajin dan asesoris keris di lingkungan Kesultanan Banten.
  • Motif Langenmaita: Langenmaita adalah nama tempat berlabuhnya kebahagiaan dalam mengarungi samudra cinta dengan kapal pesiar/dermaga.
  • Motif Mandalikan: Mandalikan adalah nama gelar yang diberikan kepada Pangeran Arya Mandalika dalam penyebaran Agama lslam.
  • Motif Memoloan: Memoloan adalah nama sebuah kontruksi bangunan atap menara mesjid dan pendopo Kesultanan Banten.
  • Motif Kesatriaan: Kesatriaan adalah nama Sebuah perkampungan tempat belajar agama di pesantren lingkungan Kesultanan Banten.
  • Motif Kawangsan: Kawangsan adalah nama gelar yang diberikan kepada Pangeran Wangsa dalam penyebaran Agama lslam.
  • Motif Kapurban: Kapurban adalah nama gelar yang diberikan kepada Pangeran Purba dalam penyebaran Agama Islam.
  • Motif Kaibon: Kaibonan adalah nama sebuah bangunan pagar yang mengelilingi Keraton Istana Banten.
  • Motif Datulaya: Datulaya dalah nama tempat tinggal Sultan Maulana Hasanuddin/tata ruang keluarga di Kesultanan Banten.

Tokoh Banten

suntiang

Berikut adalah tokoh-tokoh terkenal dari suku Banten:

Sultan-sultan dan tokoh Kesultanan Banten lainnya

suntiang

Agamawan

suntiang

Pahlawan nasional dan tokoh pejuang lainnya

suntiang

Politisi, negarawan, tokoh militer dan lain sebagainya

suntiang

Aktor, aktris, penyanyi, dan lain sebagainya

suntiang

Lihat pula

suntiang

Referensi

suntiang
  1. Minahan, James B. (2012). Ethnic Groups of South Asia and the Pacific: An Encyclopedia. Santa Barbara, California: ABC-CLIO. ISBN 978-1-59884-659-1. OCLC 915350385. https://books.google.co.id/books?id=fOQkpcVcd9AC&pg=PT50&dq=sundanese+banten+dialect&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjOoq_87-L2AhXZR2wGHQE7D-UQ6AF6BAgLEAI#v=onepage&q=sundanese%20banten%20dialect&f=false. 
  2. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 27 Desember 2011. ISBN 9789790644175. http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html. 
  3. "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia 2011" (PDF). 2011-01-01. Diakses tanggal 2017-03-21. 
  4. Bintang, Anugerah. "Suku Bangsa di Provinsi Banten" (dalam bahasa Inggris). 
  5. a b "Peringatan". sp2010.bps.go.id. Diakses tanggal 2017-03-21. 
  6. a b c Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia – Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 27 Desember 2011. ISBN 9789790644175. http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html. 
  7. Kemdikbud, Ditjenbud -. "Suku Banten | Kebudayaan Indonesia". kebudayaanindonesia.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-22. Diakses tanggal 2017-03-21. 
  8. developer, metrotvnews. "Bahasa dan Sastra Sunda Banten Terancam Punah". Metrotvnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-01. Diakses tanggal 2017-03-21. 
  9. Khamelia. "Tarian Topeng Tani Banten Juara Umum Festival Pesona Serumpun Sebalai Nusantara". Tribunnews.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2017-04-09. 
  10. "5 Tari Tradisional Banten". TradisiKita, Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-10. Diakses tanggal 2017-04-09. 
  11. "DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PANDEGLANG". disbudpar.pandeglangkab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-12. Diakses tanggal 2017-04-09. 
  12. a b Kemdikbud, Ditjenbud -. "Kesenian Rampak Bedug dari Banten | Kebudayaan Indonesia". kebudayaanindonesia.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-21. Diakses tanggal 2017-03-21. 
  13. a b Official NET News (2014-09-20), Budaya Desa Menes Pandeglang Banten - NET17, diakses tanggal 2017-04-09 
  14. a b Netmediatama (2014-09-21), Menes - Pandeglang - Banten | Indonesia Bagus | Fransiska, Wilman & Yasmina| NetMediatama, diakses tanggal 2017-04-09 
  15. Ansyari, Syahrul. "Cerita Makam Keramat Terpanjang di Tangerang". VIVA.co.id (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-10. Diakses tanggal 2017-04-09. 
  16. "7 Makanan Khas Banten yang Wajib Dicoba". Wisata Banten (dalam bahasa Inggris). 2016-01-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-02. Diakses tanggal 2017-04-01. 
  17. admin. "14 Makanan Khas Banten Paling Enak yang Wajib Anda Cicipi". Portalwisata.co.id (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2017-04-01. 
  18. Widodo, Wahyu Setyo. "Liburan di Banten, Jangan Lupa Cicipi 10 Kuliner Khas Ini". detikcom (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2017-04-01. 
  19. Bantenurban TV (2016-07-19), Batik Banten Sebuah Rekonstruksi Sejarah ( Video Promosi ), diakses tanggal 2017-04-09 
  20. Official NET News (2014-10-30), 85 Motif Batik Banten Mulai Dipasarkan -NET24, diakses tanggal 2017-04-09 
  21. "Batik Banten – Seni Budaya Lokal Yang Mendunia | KotaSerang.com". kotaserang.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-09. 
  22. Mulyadi (2016-11-13). "Ini Tiga Tokoh Dari Banten yang akan Diusulkan Mendapat Gelar Pahlawan". Ini Tiga Tokoh Dari Banten yang akan Diusulkan Mendapat Gelar Pahlawan (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2017-04-01. 
  23. "Catatan KH. Tb. ACHMAD SUCHARI CHATIB Seorang Putera Residen Banten (1920-2005)". 

Pranala luar

suntiang

Bacaan lanjutan

suntiang
  1. Claude Guillot, The Sultanate of Banten, Gramedia Book Publishing Division, Jakarta, 1990
  2. Adolf Heuken SJ, Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid II, Cipta Loka Caraka, Jakarta,2000
  3. Adolf Heuken SJ, Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid III, Cipta Loka Caraka, Jakarta,2000