Pangguno:Rahmatdenas/bak kasiak3

Mirza Adityaswara

Mirza Adityaswara adalah seorang Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2022-2027. Jauh sebelum menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan OJK pria kelahiran 9 April 1985 asal Surabaya ini memang telah lama berkecimpung di dunia keuangan. Ditunjang dengan latar pendidikan yang relevan, sebagai lulusan Ekonomi di Universitas Indonesia Ia memulai karirnya pada tahun 1989 sebagai dealer di Bank Sumitomo Niaga.

Sejak kecil Mirza akrab dengan dunia perbankan karena ayahnya juga telah membina karir di sana lebih dari 30 tahun. Tradisi intelektual dan budaya agama yang sangat kental dalam keluarga menjadikan ia sosok yang percaya bahwa cara terbaik menuju kesuksesan adalah dengan pendidikan yang didampingi kerja keras. Ayah Mirza, Sutan Remy Sjahdeini sendiri merupakan anak pertama dari Achmad Djohar dan Djoelaecha yang juga sangat mengutamakan pendidikan. Prinsip Remy yang kerap Ia pakai adalah “Anak-anak saya harus lebih baik dari saya”.

Mirza sendiri merupakan anak kedua dan juga anak laki-laki pertama dalam keluarganya. Masa kecil Mirza bisa dibilang kerap berpindah-pindah, sebab tak lama setelah Ia lahir, mereka pindah ke Banjarmasin karena ayahnya diangkat menjadi wakil kepala cabang BNI di sana. Kemudian pada tahun 1960-an mereka Kembali pindah ke Pekanbaru. Tak hanya itu, mereka kemudian juga pindah ke Kudus dan di sanalah Mirza mulai sekolah TK di salah satu sekolah Katolik.

Pada tahun 1970 Mirza sekeluarga pindah ke Jakarta dan mulai bersekolah di SDN 3 Pagi Slipi yang dekat dengan rumahnya. Saat di Jakarta inilah ia kerap diajak Remy ke kantor BNI dan kebiasaan ini tetap berlanjut meskipun akhirnya mereka pindah ke Manado dan Semarang. Menurut Mirza, Remy merupakan sosok ayah yang lantang dalam berbicara, sangat supel, suka bercanda, namun tetap disiplin.

Salah satu ajaran ayahnya yang sangat melekat adalah perihal kejujuran. Itulah mengapa bagi Mirza ayahnya sangat berkesan dalam kehidupannya. Namun, ada perbedaan yang cukup mencolok anatar Remy dan Mirza. Remy adalah sosok yang tidak terlalu kaku, sedangkan Mirza adalah kebalikannya. Suatu waktu Remy pernah mengatakan bahwa ia meminta kontak salah satu pejabat Bank Mandiri, namun Mirza menolaknya mentah-mentah karena berpikiran bahwa mungkin ayahnya akan melakukan sebuah bisnis pula di sana. Alhasil menurut Remy, dalam urusan etika Mirza memang jauh lebih ketat dari dirinya.

Meskipun lahir dalam keluarga Muslim, Mirza hampir selalu kuliah di sekolah Katolik karena pada masa itu sekolah Katolik dianggap sebagai sekolah yang memiliki disiplin tinggi. Meskipun begitu, orang tua Mirza (Remy dan Isye) tetap ingin anaknya memiliki pendidikan agama Islam yang baik dengan membangun tradisi agama yang kental di dalam keluarganya.

Remy juga ingin anak-anaknya pandai dan rajin membaca Al-Quran, itulah mengapa ia memanggilkan guru mengaji untuk anak-anaknya. Dan Mirza sendiri sudah khatam berkali-kali, sebab di antara semua saudaranya Ialah yang paling rajin dalam urusan belajar mengaji. Mirza yang saat itu masih SMP sering mengajak adik-adiknya berdoa sebelum tidur dan biasanya dia yang memimpin doa.

Setelah lulus dari SMP Semarang, Mirza pun kembali ke Jakarta dan Ia berhasil masuk ke SMA Pangudi Luhur. Di sekolah inilah terukir kenangan yang cukup lucu untuk diceritakan. Pada tahun 1983 Mirza dan kawan-kawannya membicarakan perihal cita-cita. Saat Mirza mengatakan bahwa cita-citanya ingin menandatangani uang kertas, semua temannya tertawa karena pada dasarnya Mirza memiliki tanda tangan yang jelek menurut mereka. Namun, selang 30 tahun, cita-cita yang ditertawakan pun menjadi kenyataan. Pada tanggal 3 Oktober 2014 Mirza berhasil menduduki jabatan yang berwewenang untuk menandatangani uang kertas.

Sebelum sampai di sana, tentu Ia membutuhkan pendidikan yang dapat membangun jembatan menuju mimpinya. Salah satunya adalah dengan berkuliah di Universitas Indonesia (UI) di Fakultas Ekonomi (FE). Saat menunggu pengumuman kelulusan di UI, Mirza mengikuti keinginan ayahnya untuk mendaftar di universitas luar negeri. Alhasil ia juga mendaftar di San Diego State University, Amerika Serikat.

Mirza diterima di salah satu universitas Amerika itu, hanya saja saat sudah mengikuti perkuliahan awal, Ia dinyatakan lulus di FE UI bersama teman-teman masa SMA-nya. Karena saat itu posisinya Mirza sudah berkuliah di Amerika mereka pun akhirnya bersama-sama ke rumah Mirza untuk membujuk ibu Mirza agar mengizinkan anaknya pulang ke Jakarta dan berkuliah di UI. Memang tidak mudah, namun akhirnya mereka berhasil mendapat izin dari orang tua Mirza.

Sejak awal, Mirza sudah menetapkan bahwa ia akan mengambil jurusan Ekonomi Studi Pembangunan dengan titik berat di sektor moneter. Itu sejalan dengan cita-citanya untuk bekerja di otoritas moneter, setelah lebih dulu menjajal sektor swasta.

Meskipun belum menggarap skripsi, pada tahun 1989 Mirza sudah memulai karirnya dengan bekerja di Bank Sumitomo-Niaga dan pekerjaan pertamanya itu menjadi bekal yang sangat berharga bagi Mirza untuk karirnya di masa mendatang. Belum lagi saat bekerja di Sumitomo Ia juga bekerja sebagai asisten dosen sejumlah pengajar di UI.

Tenggelam dalam kedua pekerjaannya itu membuat Mirza lupa akan kewajibannya sebagai mahasiswa yang tetap harus menyelesaikan studi dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Tak berbeda dengan kekasihnya, Rully. Mereka sama-sama tak menggarap skripsi karena sudah merasakan nikmatnya dunia kerja sampai akhirnya mereka mendapat surat teguran dari kampus.

Surat teguran itu sebenarnya tidak begitu mempengaruhi Mirza sampai akhirnya sang ayah turun tangan dengan ancaman tak akan menikahkan Mirza dengan Rully jika Ia tak sarjana. Ancaman klasik itu rupanya mampu membangkitkan semangat menggarap skripsi mereka. Mereka pun mulai menggarap skripsi hingga sidang. Mirza sempat tidak lulus sidang, namun akhirnya tetap saja setelah delapan tahun menjadi mahasiswa Ia berhasil menyandang gelar sarjana dan menikah pada tahun 1992.

Pada tahun 1993 Mirza menerima tawaran untuk bergabung di Private Development Finance Company of Indonesia (PDFCI). Saat itu perekonomian di Indonesia berada di posisi booming.  Gairah ekonomi ditandai dengan pertumbuhan kredit perbankan mencapai 24-35% per tahun. Hanya dalam waktu satu tahunan, Mirza berhasil membentuk beberapa proyek pembangunan Hotel Ciputara di Semarang, Jawa Tengah.

Tahun 1997 Mirza pindah ke Deutsche Morgan Grenfell (DMG) dan berperan sebagai analis senior perbangkan dengan jabatan direktur di DMG. Namun, gairah pasar modal di tahun itu berubah dengan sangat cepat karena gelombang krisis finansial di Asia. Hal itu membuat Mirza hanya bertahan di DMG selama kurang dari setahun.

Perekonomian Indonesia mulai membaik pada tahun 2004. Di tahun 2005 Mirza pun menerima tawaran untuk bekerja di Credit Suisse Securities di Indonesia. Di perusahaan asal Swiss ini Mirza bertanggungjawab menyajikan rekomendasi terkait investasi di pasar saham kepada investor. Sebagai representasi Credit Suisse Indonesia, Mirza pun aktif melakukan road show, menyambangi investor atau calon investor potensial, terutama di pusat-pusat keuangan dunia, seperti Singapura, Hong Kong, London, dan New York.

Sejak mulai menggeluti profesi analis perbankan pada pertengahan 1990an, Mirza tidak sekadar melakukan riset dan analisis untuk kepentingan klien dan institusi tempat ia bekerja. Ia juga menggunakan olahan data, informasi dari wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan, serta ilmu ekonomi yang ia pelajari untuk menuliskan pandangannya di media massa.

Dengan latar pendidikan dan pengalaman yang memadai, Ia pernah memegang posisi sebagai Director, Head of Securities Trading and Research di Bahana Securities pada tahun 2002-2005. Kemudian di tahun 2008-2010 Mirza menjabat sebagai Managing Director.

Sempat dihantam krisis kembali pada tahun 2008 karena semua transaksi bursa dihentikan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham PT Indosat anjlok 23,3%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 10,38%. Belum pernah ada preseden penutupan bursa karena ajloknya perdagangan. Alhasil tak sedikit orang yang kebingungan.

Hal yang cukup menguntungkan di tengah krisis ini bagi Mirza adalah ia diangkat sebagai Kepala Ekonom Bank Mandiri Group sekaligus sebagai Direktur Capital Market Mandiri Sekuritas. Kehadiran Mirza menjadi darah segar bagi Bank Mandiri sebagai sebuah grup perusahaan. Ia ikut mengawal proses penyehatan Bank Mandiri dengan menyumbangkan kemampuan riset dan pengetahuannya tentang ekonomi makro.

Saat krisis 2008 itu, Mirza ikut menyumbangkan pemikirannya. Suatu hari, ia diminta presentasi di depan para pejabat Bank Mandiri. Hari itu sebenarnya hari libur. Namun, karena Bank Mandiri membuat pusat krisis, mereka menggelar rapat secara maraton untuk mendapatkan solusi. Mirza menjadi salah seorang ekonom yang diminta menyampaikan pendapatnya tentang situasi krisis dan rekomendasi penyelesaian masalah.  Beberapa hari kemudian, ia diminta Agus Martowardojo bergabung ke Bank Mandiri.

Pada tahun 2012 Mirza menjadi Kepala Eksekutif LPS sekaligus Dewan Komisioner. Dua tahun setelahnya (2014) Ia dipercaya untuk menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia hingga tahun 2019. Setelah itu Ia juga mengisi posisi komisaris di PT Mandiri Sekuritas, Komisaris Independen PT Sarana Menara Merdeka, dan Komisaris Utama PT Visionet Internasional (OVO). Dan akhirnya sampai pada saat ini di mana Ia dipercaya sebagai pemegang posisi Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2022-2027.

Referensi

*Nur Hidayati, 2020, Mirza Adityaswara, Kekuatan Komunikasi, Jakarta: BI Institute.